Tradisi Membangunkan Sahur: Antara Romantisme Ramadan dan Gangguan Ketenteraman

Tradisi membangunkan sahur


Tadi pagi, tersiar berita seorang remaja di Citeureup Kabupaten Bogor berlumuran darah usai dipukul salah seorang warga menggunakan pistol jenis airsoft gun. Warga tersebut merasa terganggu saat remaja membangunkan sahur pada Minggu (16/03/2025) dini hari.

Di awal saya punya anak ketiga dan si kecil kebetulan belum genap empat bulan saat Ramadan tiba, itu adalah kelelahan tersendiri buat saya. Apalagi ketika jam 02.00 suara gaduh dari remaja membangunkan sahur mulai terdengar cukup keras berbunyi. Hal itu memberikan efek kaget dan berakhir dengan tangisan keras si kecil dengan durasi yang nggak sebentar, di situlah kesabaran saya seperti diuji. Terkadang berharap, pas depan tempat saya mbok ya o, mukul kentongan dan beduknya distop dulu karena saya punya bayi. Atau monggo mukulnya pelan saja, cukup teriak sahur, jangan sampai bayik saya nangis karena kaget. namun, sekali lagi, itu hanya batin saya dan grundelan saya yang nggak ebrani saya katakan pada anak remaja tersebut.

Setiap Ramadan, suara kentongan, rebana, toa masjid, hingga konvoi anak muda berteriak, "Sahur! Sahur!" menjadi fenomena yang sulit dilewatkan. Bagi sebagian orang, ini adalah nostalgia Ramadan yang hangat. Namun, bagi yang lain, ini adalah gangguan yang merusak tidur. Tradisi membangunkan sahur ternyata bukan sekadar budaya turun-temurun, tetapi juga menyimpan perdebatan antara pro dan kontra yang semakin relevan di era modern.

Asal-Usul Tradisi Membangunkan Sahur

Tradisi ini bukan hanya khas Indonesia. Di berbagai negara Muslim, ada versi masing-masing. Di Mesir, misalnya, ada "Mesaharaty," yaitu orang yang berkeliling desa memukul drum dan memanggil nama-nama warga agar bangun sahur. Di Turki, para drummer memainkan irama khas, sedangkan di Maroko, ada nyanyian sahur yang disebut "Nafar."

Di Indonesia, kebiasaan membangunkan sahur dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pemuda kampung yang berjalan keliling dengan alat musik sederhana, hingga masjid yang menggunakan pengeras suara untuk menyuarakan imbauan sahur.

Namun, apakah kebiasaan ini masih relevan di era modern? Mari kita bahas sisi pro dan kontra tradisi membangunkan sahur.


pro dan kontra membangunkan sahur

Pro: Romantisme Ramadan yang Menyatukan Komunitas

1. Memperkuat Rasa Kebersamaan

Tradisi membangunkan sahur bukan sekadar teriakan dan tabuhan alat musik. Ini adalah bentuk gotong royong, mengingatkan bahwa puasa adalah ibadah kolektif yang melibatkan seluruh masyarakat. Saat sekelompok pemuda berjalan bersama, berteriak “Sahur! Sahur!”, mereka menciptakan suasana Ramadan yang lebih hidup dan penuh semangat.

2. Membantu yang Sulit Bangun Sahur

Tidak semua orang mudah terbangun untuk sahur, terutama mereka yang memiliki pekerjaan berat atau tidur larut malam. Suara-suara yang membangunkan sahur menjadi alarm alami yang membantu mereka tidak melewatkan makan sebelum puasa.

3. Menjaga Tradisi dan Identitas Budaya

Di tengah modernisasi, banyak tradisi yang mulai luntur. Membangunkan sahur adalah salah satu dari sedikit kebiasaan yang masih bertahan. Jika dihapuskan, mungkin generasi mendatang hanya akan mengenalnya sebagai cerita lama tanpa pernah merasakannya secara langsung.

4. Aktivitas Positif Bagi Pemuda

Daripada berkeliaran tanpa tujuan atau terjebak dalam kegiatan negatif, membangunkan sahur bisa menjadi aktivitas yang lebih bermakna bagi anak muda. Mereka bisa lebih aktif dalam kegiatan sosial, sekaligus menikmati kebersamaan dengan teman-temannya.


Kontra: Gangguan Ketenteraman dan Relevansi di Zaman Modern


pro dan kontra membangunkan sahur


1. Mengganggu Waktu Tidur Orang Lain

Tidak semua orang menikmati suara berisik di tengah malam. Ada lansia, bayi, orang sakit, dan pekerja shift malam yang butuh istirahat. Meskipun niatnya baik, tradisi ini bisa menjadi gangguan bagi mereka yang sangat membutuhkan tidur berkualitas.

2. Teknologi Sudah Menggantikan Peran Tradisional

Di era smartphone dan alarm digital, kebutuhan akan dibangunkan secara manual semakin berkurang. Banyak orang sudah mengandalkan ponsel mereka untuk bangun tepat waktu. Apakah masih perlu ada sekelompok orang yang berteriak dan memukul drum jika alarm sudah bisa melakukan tugas yang sama tanpa mengganggu orang lain?

3. Kadang Berujung pada Perilaku Mengganggu

Tidak jarang, tradisi ini berubah menjadi ajang ugal-ugalan. Beberapa kelompok pemuda menggunakan toa dengan volume berlebihan, meneriakkan kata-kata tidak pantas, atau bahkan berkendara dengan suara knalpot yang memekakkan telinga. Hal ini justru menodai esensi Ramadan yang harusnya penuh dengan ketenangan dan kebijaksanaan.

4. Masalah Regulasi dan Ketertiban Umum

Beberapa daerah sudah mulai membatasi atau melarang tradisi membangunkan sahur, terutama jika dilakukan dengan cara yang mengganggu ketertiban. Di beberapa kota besar, ada peraturan mengenai kebisingan yang bisa membuat praktik ini dianggap sebagai pelanggaran hukum.


Solusi di Tengah Perdebatan: Jalan Tengah yang Lebih Bijak

Melihat perdebatan ini, bukan berarti tradisi membangunkan sahur harus dihapuskan sepenuhnya. Namun, perlu ada penyesuaian agar tetap bisa dijalankan tanpa merugikan pihak lain.

 

1. Gunakan Metode yang Lebih Santun

Alih-alih berteriak-teriak atau membunyikan alat musik dengan keras, cara yang lebih santun bisa dipilih. Misalnya, cukup dengan shalawat atau lagu-lagu Islami yang dinyanyikan dengan lembut dan merdu.

2. Atur Waktu dan Volume

Jika menggunakan pengeras suara dari masjid atau alat musik, sebaiknya tidak terlalu lama dan tidak terlalu keras. Cukup beberapa menit sebelum waktu sahur agar orang yang butuh bangun bisa terbangun tanpa mengganggu orang lain.

3. Gunakan Teknologi

Alih-alih membangunkan sahur dengan suara keras, mungkin bisa dibuat sistem berbasis WhatsApp atau aplikasi khusus yang mengingatkan warga untuk sahur. Cara ini lebih efektif dan tidak menimbulkan gangguan bagi yang tidak ingin dibangunkan.

4. Edukasi dan Sosialisasi

Pihak berwenang dan komunitas lokal bisa membuat panduan yang jelas mengenai tata cara membangunkan sahur yang tidak mengganggu. Dengan edukasi yang baik, tradisi ini tetap bisa berjalan tanpa menimbulkan konflik.


Kesimpulan: Tradisi atau Gangguan?

 

Tradisi membangunkan sahur bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan membawa kebersamaan, tetapi juga bisa menjadi gangguan jika tidak dilakukan dengan bijak. Sementara bagi sebagian orang ini adalah romantisme Ramadan, bagi yang lain ini adalah sumber stres.

Seiring perkembangan zaman, cara-cara membangunkan sahur mungkin perlu beradaptasi. Tidak harus menghilangkan tradisi, tetapi cukup dengan menyesuaikannya agar lebih relevan dan tidak mengganggu. Ramadan seharusnya menjadi momen yang membawa ketenangan dan kebersamaan, bukan konflik karena perbedaan cara menjalankan tradisi.

Menurut saya pribadi, jika tradisi membangunkan sahur ini masih ingin dipertahankan, maka sebaiknya dilakukan dengan cara yang lebih bijak. Misalnya, tidak perlu terlalu lama atau terlalu keras dan cukup dilakukan di area yang memang masih menginginkannya. Dengan begitu, kita masih bisa menjaga nilai budaya tanpa mengorbankan kenyamanan orang lain. Piye, setuju ora, Gaes?

Jadi, apakah kamu termasuk yang mendukung atau menolak tradisi membangunkan sahur? 

Share:

0 komentar