Seperti Janji Senja
Rintik-rintik
kecil mengiringi langkah kami saat menyusuri jalan sepanjang Malioboro sebelum
matahari berganti perannya dengan bulan. Sesekali tangan kirinya menggapai
lembut tangan kananku untuk sekedar memastikan tubuhku tidak tenggelam bersama
lautan pejalan kaki lainnya. Aku yang mengekor di sampingnya hanya sekilas
menatap dari samping, mengamati wajah yang masih sama setahun lalu.
“Dik Aisy, jalannya jangan sambil kesengsem
lihat wajahku,” katamu sambil tersenyum.
Aku yang ketahuan mencuri pandang
hanya nyengir menutupi rasa panas yang tiba-tiba menjalar di pipiku. Berpura-pura
membetulkan letak kaca mata, aku membantah, “Idih, geer kamu, Mas!”
Terkekeh
dia membalasnya, “Ya sudah kalau nggak mau ngaku, aku memang ganteng kok!”
Kutimpuk pelan lengan kirinya dengan
koran yang sempat kubeli ketika menunggunya menjemputku di Stasiun Tugu.
“Mau ke
mana kita?” tanyanya sedikit lantang, bersaing dengan ramainya suara pedagang
memamerkan barangnya .
Kuhentikan
langkah kakiku, menepi agar aku bisa sedikit leluasa berbicara. “Aku ngikut
deh, mau di bawa ke mana. Tapi ... sebentar lagi senja, Mas. Rintiknya juga tak
lama lagi pasti akan berubah menjadi besar.”
Mas
Ayub memandang langit dan mengangguk. “Tapi kamu nggak buru-buru pulang kan,
Dik?” Gelengan kepalaku cukup menjawab pertanyaannya.
Dia tersenyum. “Ya sudah,
ikut saja ya, ke tempat ini pasti lebih asyik.” Berkata begitu tangan kirinya
kembali menarikku. Menyeberang di tengah hujan yang mulai deras dan kami masuk ke
sebuah mall.
Aku
mengikuti langkah panjangnya menuju lantai tiga. Dia membawaku ke toko buku. “Dik,
ambil ya, mau beli novel apa. Habis bingung mau dibawa ke mana. Nggak apa-apa
kan?”
Aku
tersenyum. “Iya, Mas, di sini saja, lebih asyik. Bisa baca sambil ngobrol.”
Tubuh
jangkungnya membiarkanku berjalan menyusuri rak tempat novel berderet. Sambil
sesekali bertanya kepadaku tentang novel yang dilihat. Apakah aku sudah membacanya
atau belum. Memintaku untuk menceritakan isi novel jika aku sudah membacanya. Ah,
lelaki yang hanya senang mendengar ceritanya dariku, bukan membacanya sendiri.
“Dik, jadi beli novel apa?” tanya mas Ayub
melihatku menimang dua novel.
“Boleh
ambil berapa nih?” tanyaku menggoda. Dalam hati, mumpung gratis, kalau boleh ambil lebih dari satu kan lumayan.
“Ambil
sesukamu, asal dibaca. Nanti ceritakan ke aku ya,” jawabnya dengan kedipan
menggoda.
“Nggak
mau, ah! Mas Ayub selalu pilih jadi pendengar.
Mosok setiap telepon aku terus
yang cerita. Sesekali baca sendiri dong!” Aku menjawabnya dengan bibir manyun.
Mas Ayub menyentil hidungku dan tertawa.
“Aku
senang mendengar ceritamu, Dik, ramai seperti hujan yang ketika turun tak pernah
sendirian. Dik Aisy mampu meramaikan hidupku. Jangan pernah lelah untuk terus
bercerita kepadaku ya, meskipun nanti kita sudah bersama dalam satu kapal.” Mas
Ayub berhenti sejenak. Aku masih dibuatnya bengong, tak menyangka lelaki yang
biasanya miskin kata-kata mampu merangkainya dengan sederhana, tapi dalam
maknanya.
“Aku
ingin menjadikanmu ratu di kerajaan cintaku, Dik, selamanya,” lanjutnya.
“Bentar,
Mas. Apakah kamu melamarku?” Masih agak bingung dengan apa yang terjadi. Bukan
jawaban yang aku dapatkan, justru tertawa khasnya yang memamerkan deretan gigi
putihnya. Tangannya menarik tanganku mendekati kaca, memintaku melihat ke luar. Di luar
hujan masih setia membasahi bumi.
“Kamu
adalah hujan bagiku, Dik. Hidupku akan penuh dengan pelangi karena ada kamu yang
menjelma menjadi hujanku. Aku berjanji akan seperti senja, tak pernah lelah
menghabiskan sisa umurku bersamamu”
Aku
tak bisa berkata sedikit pun. Permintaannya untuk menjadikanku seorang istri
dirangkai dengan kalimat yang sederhana. Bersama hujan dan janji senja yang tak
pernah ingkar untuk menggantikan sore, menjadi saksi bagaimana aku dan hujan
menurutnya. Kuanggukkan kepalaku dengan mantap, bagiku ini adalah hal yang tak
boleh ditolak. Cinta ini sudah tumbuh sejak kebersamaan dengannya di telepon.
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post yang diselenggarakan oleh Blogger Muslimah Indonesia.
3 komentar
jogja..senja dan hujan... romantissss
ReplyDeleteIya, Mbak. hehehehe...
DeleteIhirrrr, jadi inget pertama dilamar suami. wkwkwkwk
ReplyDelete