Aku, Kamu, dan Aroma Susu bagian 1
image by google |
Ditemani uap
susu yang lembut, kami duduk di dapur ibu. Retinaku menatap sekeliling dapur
yang tidak banyak berubah sejak dua tahun lalu kutinggalkan. Meja bundar dengan
empat kursi yang terbuat dari rotan, tempat kami menyantap makanan masih
terletak di sebelah pintu keluar. Kulkas dua pintu milik ibu juga masih
diletakkan tak jauh dari lemari kecil tempat ibu menyimpan berbagai piring
koleksinya. Lampu hias yang menggantung di atas meja makan saja yang sudah berganti
dengan lampu hias lebih klasik.
“Kangen, Rien,
dengan suasana dapur ini?” lembut tangan ibu menyentuh lenganku setelah
meletakkan camilan kacang sangrai. Aku tersenyum menatap ibu, masih enggan
menjawab. Aku ingin menikmati dapur, aroma susu, dan kenangan tentang Ken, anak
lelaki ibu yang telah memporak porandakan hatiku hingga berkeping-keping
jadinya.
Dua tahun
lalu....
Aku
menginjakkan kaki di depan rumah bernuansa hijau dengan segenap janji yang
telah memenuhi rongga dada. Janji Ken kepadaku, janji kami. Bahwa di rumah ibu
Ken lah kami akan bertemu ketika penatnya tugas telah selesai. Dan inilah aku,
berada di rumah Ibu setelah setahun sebelumnya aku dan Ken membuat janji.
Jauhnya jarak
yang memisahkan ragaku dan Ken membuat kami tak leluasa memiliki waktu bersama.
Tugas Ken yang jauh dari kotaku, memaksa kami menjalankan cara ini. Membuat
janji pertemuan di tempat orang tua Ken. Bukan tempatku atau kota tempat Ken
bertugas.
Ada sedikit
rasa takut yang dari tadi coba kutahan. Aku tidak bisa menghubungi Ken
menjelang kedatanganku. Bahkan ketika aku meneleponnya minta untuk dijemput,
Ken tidak mengangkat teleponku. Ah, mungkin dia sedang sibuk, maka kuputuskan
untuk segera saja mendatanga tempat ini.
Baru saja aku
hendak mengucapkan salam, mataku menangkap sosok Ken dan seorang wanita yang
sedang menggendong bayi. Mulutku tiba-tiba menjadi kelu, tak mampu mengucapkan
salam. Tubuhku mendadak seperti tak memilliki tulang, lemas sekali rasanya. Tanganku
meraba mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk berpegangan. Beruntung aku
menemukan kursi dan aku memilih untuk duduk daripada terjatuh. Kedua mataku
sudah panas, menahan sebisa mungkin agar tidak tumpah.
Aku mengenal
wanita yang sedang menggendong bayi dengan Ken yang memeluk mesra keduanya.
Wanita itu adalah Tyas, sosok yang selalu menjadi perdebatan antara aku dan
Ken. Kenapa justru Tyas ikut datang bersama Ken di tempat aku dan dia berjanji
untuk bertemu?
“Wah, ada Mbak
Rien. Masuk, Mbak!” ajak Nies adiknya Ken. Aku masih membisu, bingung antara
masuk atau tidak. Tyas memang tidak mengenalku, tapi aku mengenalnya. Dan itu
bisa memperburuk suasana hatiku.
Mataku
mengerjap, tak ingin memperlihatkan kesedihan. “Iya, Dik. Tadi sudah
mengucapkan salam, tapi tidak ada yang mendengar,” kataku berbohong.
“Masuk, Mbak,”
ajak Nies. Aku masih terdiam. Nies sepertinya paham alasanku tak juga mengikuti
kemauannya. “Mbak Tyas nggak kenal Mbak Rien kan?” tanya Nies yang kujawab
dengan gelengan kepala. Nies tersenyum.
Tanganku
ditarik oleh Nies, berjalan ke dalam dan berhenti di ruang tengah, tempat Ken
dan Tyas bersama bayi mereka. Bayi mereka? Ah, hatiku masih mencoba
menampiknya. Berharap semoga itu bukan bayi mereka.
Bersambung ....
Tags:
Cerpen
0 komentar