Mataku menyipit,
menatap tajam kepadanya. Lihatlah, tangan kanannya terulur kepadaku. Mengajak
kenalan.
“Siapa namamu?”
tanyanya ramah. Tubuhnya jelas lebih kecil dariku. Kesamaan kami ada pada
warna. Tubuh kami sama-sama berwarna abu-abu. Tubuhku seluruhnya abu-abu. Sedangkan
tubuhnya masih ada warna putih.
Aku tidak ingin
menjawab pertanyaannya. Kkubiarkan tangannya menggantung.
“Namamu Momo
ya,” tanyanya kembali.
Kepalaku menoleh.
“Tahu dari mana kamu?”
Dia tertawa. “Tadi
aku mendengar Ibu memanggilmu.”
Aku mengangguk
paham. Aku yang belum tahu siapa namanya. Tadi pagi ibu sudah mengatakan kalau
aku bakal punya teman. Tapi aku tidak mendengar dengan jelas namanya ketika ibu
menyebutnya.
“Kenalkan, aku Demplon,”
katanya.
Aku hanya
mengangguk dan kembali tiduran. Demplon hanya tersenyum melihat sikapku.
Aku tidak butuh
teman baru. Apa yang bisa kulakukan jika ada teman? Tetap tidak akan merubah
keadaan, pikirku.
Berhari-hari
kubiarkan Demplon berbiacara dan bermain sendiri. Aku hanya melihatnya. Tubuhku
sudah menjadi sangat malas bergerak sejak peristiwa dua minggu lalu.
“Ayolah, main
denganku!” Ajak Demplon.
“Kita bisa
bermain apa saja,” katanya menambahkan.
Aku menggeleng.
Demplon tidak kehilangan akal. Dia mengambil bola kecil dan melemparkan ke
arahku. Rasanya aku ingin marah.
“Aku nggak suka
main bola!” kataku ketus.
“Hanya karena
kaki depanmu tinggal satu kamu nggak ingin main bola lagi?” Demplon melemparkan
lagi bolanya kepadaku.
“Main saja
sendiri!” Aku menjawab ketus.
“Bukankah kamu
masih ada satu kaki lagi? Kaki itu bisa kok untuk melempar bola ke arahku.”
Demplon masih mengoper bola kepadaku. Meskipun aku tidak melemparnya balik, ia
rela mengambilnnya dariku. Berulang-ulang. Hingga aku semakin kesal.
“Main sana
sendiri!” kutendang bolanya dengan kaki depan sebelah kanan.
“Hore ... !”
teriak Demplon melihatku membalas lemparan bolanya tanpa kusadari.
Aku diam dan
bengong. Aku bisa melakukannya dengan satu kaki? Melihatku yang bengong, kaki
Demplon kembali melempar bola ke arahku.
Kutendang kembali
bolanya dengan satu kaki. Dan berhasil! “Aku bisa!” teriakku gembira. Ekor
panjangku berkibas. Aku berlari mengelilingi Demplon. Kami tertawa senang.
“Apa kubilang? Bukan
berarti hilangnya satu kaki membuatmu tidak bisa bermain,” kata Demplon.
Aku merangkulnya.
Sejak kaki depan sebelah kiri tergilas kereta api, aku menjadi pemarah dan
malas bermain.
“Terima kasih,
Demplon,” kataku. Demplon menjawabnya dengan anggukan kepala.
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
0 komentar