Rindu Bapak
image by google |
“Nduk, nggak pareng bobok lho. Ayo, melek sek!” Bapak menepuk tanganku yang mulai lemah pegangan tangannya di
pinggang bapak. Aku hanya diam tak menjawab. Mataku rasanya sudah lengket
sekali. Sulit diajak untuk bertahan. Padahal rumah masih jauh lagi.
“Nduk Lis, ayo, melek!”
kembali bapak menepuk lembut tanganku. Bapak menghentikan laju sepeda. Memintaku
untuk turun. Mataku mengerjap, menatap sekeliling yang tampak gelap. Hanya beberapa
lalu lalang sepeda motor di tengah jalan yang kanan kirinya hanya terhampar
sawah. Sayangnya malam ini tidak terlihat tanaman di sawah.
Aku menguap, memeluk manja pinggang bapak. “Ngantuk, pak e. Pengen
bobok. Sek adoh to, Pak?” aku bertanya sambil memandang wajah bapak yang
terkena sorotan lampu pengendara motor.
“Nyanyi saja ya, biar nggak ngantuk. Sek adoh lo, Nduk. Mengko sikilmu
mlebu ruji maneh koyo wulan wingi nek Bapak bonceng kowe ngantuk ngene iki,”
Bapak menjelaskan tanpa menjawab pertanyaankku.
Mendengar kalimat bapak yang terakhir, terpaksa membuat mataku
sedikit melek. Ingat sakitnya ketika kakiku harus masuk dalam ruji sepeda ontel
bapak karena ngantuk. Dan aku tak ingin mengulangnya.
“Nggeh, Pak, dicoba melek,”
pelan aku menjawab. Bapak masih ragu dengan kesungguhanku untuk melek. Terlihat
tangan bapak merogoh kantong celana mencari sesuatu.
“Nih, maem permen jahe, ben melek.” Bapak menyodorkan dua bungkus permen jahe yang rasanya sungguh tak
kusuka. Pedas seperti cabai, menurut lidahku. Tapi tetap kuambil juga. Siapa tahu
bisa mengusir kantukku.
Belum sempat kkubuka bungkus permennya, “Apa mau makan molen yanng
tadi kamu beli?” tawar bapak melihat keenggananku mengunyah permen jahe.
Mataku langsung membulat gembira. Tadi di terminal lama Nganjuk
bapak mampir membeli molen kesukaanku.
“Angsal emange, Pak?”
“Yo oleh to, dari pada kamu ngantuk dan kamu juga nggak mau ngemut permen jahe. Iyo to?”
Mendengar jawaban bapak aku hanya tertawa. Bapak memang tahu kesukaanku.
Kuambil dua potong molen dan kumasukkan dalam mulutku. Tentu saja
aku jongkok untuk memakannya. Bapak paling marah jika kami, anak-anaknya makan
berdiri. Sambil duduk di atas sepeda pun, bapak tidak mengijinkan kami sambil
makan. Bapak melihatku dan tersenyum. Menungguku menghabiskan dua molen agar
kantukku hilang.
“Sampun, Pak. Ayo, muleh!”
Ajakku kepada bapak setelah selesai menelan molen. Aku kembali duduk di atas
boncengan sepeda kumbang bapak. Bapk mulai duduk di sadel sepedanya. Aku memeluk
erat pinggang bapak, dan mulai menyanyi sesuai saran bapak agar kantuk itu
tidak kembali datang.
NB. Kegiatan dibonceng bapak selalu menyenangkan, walaupun hanya
menggunakan sepeda ontel beliau. Aku lah yang selalu diajak berkeliling kota
Nganjuk, meskipun bapak tahu aku mudah ngantuk di jalan dan berkali-kali kaki
kanan masuk ke dalam ruji sepeda bapak. Tapi bapak tak pernah lupa untuk
mengajakku. Sepulanng membeli keperluan bapak, beliau pasti akan membelikan
pisang molen di terminal lama kota Nganjuk.
#OneDayOnePost
#TantanganDeSaki
#RinduBapak
Tags:
Cerpen
2 komentar
Bikin kangen juga 😥😥😥
ReplyDeleteHaha...aku juga suka ngantuk kalau dibonceng ayah. Tapi boleh tidur. Karena perjalanan jauh naik vespa trus dipegang erat tanganku sama ayah biar ga jatuh.
ReplyDeleteSuka mba lisaa....makaasihhh :-*
ayah bolehin aku tidur karena katanya refleks-ku lumayan bagus. Gampang bangun kl knapa2..hihi