Mio Kesayangan
Hujan pagi ini benar-benar membuat dingin udara di sekitar. Memeluk
si putih Daring yang pules, rasanya lebih nyaman. Namun, tidak bisa, hari ini
belum libur. Masih satu hari untuk menunaikan kewajiban.
Suami sudah lebih dahulu berangkat untuk menawarkan dagangannya. Saya
masih menyiapkan kebutuhan si kecil dan kakak-kakaknya. Si Hitam baru saja
keluar, saya melihat suami mendorong mio. Wah, saya mulai cemas. Usia Mio yang
sudah renta, membuat saya berpikir yang tidak-tidak. Mio pasti bikin ulah.
Benar saja, setelah dekat, nampak stang Mio seperti mau putus. Kalau
manusia itu leher dan kepala sudah nyaris terpisah. Akhirnya saya menawarkan
agar suami melanjutkan jualan dengan menggunakan vario, dengan konsekuensi saya
meliburkan diri.
Mengingat Mio, saya berhutang dengannya. Mio ikut jungkir balik
bersama saya, berjuang bareng saya. Menemani kuliah saya ke Parung, mencari
lokasi penempatan tugas saya sebagai CPNS, hingga berkali-kali terjungkal di
jalanan yang belum bersahabat. Mio banyak jasa. (Di sini saya tiba-tiba terhura
...)
September 2007 saya merengek ke suami untuk mengambil motor kredit,
dengan alasan sepeda mini saya sudah sering ngadat kalau saya bawa pergi
mengajar les private. Sering rantainya tiba-tiba putus, padahal saya pulangnya
di atas jam tujuh malam dan melewati jalanan yang sepi. Pernah juga sepeda mini
itu pedalnya patah, sehingga tidak bisa digowes. Maklum, belinya waktu 2004
bukan sepeda baru, yanng penting bisa menemani saya berangkat mengajar dan
masih bisa digunakan dengan baik.
Mio datang sebagai penghuni baru. Berhubung saya belum bisa
menggunakan motor matic,saya harus belajar terlebih dahulu. Nggak butuh waktu
lama, saya bisa membawanya untuk pergi ke sekolah. Tapi entah kenapa, jika
tidak ada jam ngajar les private, saya lebih suka bersepeda mini ke sekolah. Mio
lebih banyak diam di rumah kontrakan, karena suami juga memilih naik sepeda ke tempat
kerjanya.
Tahun 2008, saya sudah mendapat peringatan dari yayasan untuk
segera menyelesaikan pendidikan ke S1. Jika tidak, saya diminta yayasan untuk
mengundurkan diri. Akhirnya saya mendaftar kuliah S1 di Universitas Terbuka. Kebetulan
pokjar Citeureup tidak membuka kelas, dioperlah saya ke pokjar Parung, yang
jaraknya 33 kilometer jauhnya dari tempat tinggal saya.
Ada rasa was-was dan takut, naik apa saya ke sana untuk kuliah
Sabtu dan Minggu. Minta diantar suami tidak mungkin. Karena beliau juga kerja
di hari Sabtu nya. Dengan modal nekat saya bawa mio sendiri untuk kuliah di
Sabtu dan Minggu. Meskipun kecepatan belum berani di atas 40, saya sukses
menjaga mio untuk tidak lecet.
Awal Mio lecet ketika 2010 saya ditugaskan menjadi CPNS di wilayah
Sukamakmur, 39 kilometer jauhnya dengan kondisi jalan bekelok, berbatu, dan
licin saat musim hujan. Satu minggu setelah saya bertugas, saya jatuh di
turunan dengan Mio. Setelah itu Mio sering menemani jatuh bangunnya saya. Makasih
ya Mio...
Kini hampir sepuluh tahun Mio bersama kami. Banyak kenangan
dengannya. Pada saat saya berganti ke motor lainnya, saya katakan ke Mio untuk
istirahat melakukan perjalanan jauh. Menemani saya yang setiap harinya hampir
menempuh perjalanan sekitar 90 kilometer. Karena sepulang sekolah saya
langsunng ngajar les private sampai tiga anak dan berpindah rumah.
Suami selalu bilang, mio membawa banyak kenangan. Tidak akan beliau
jual walaupun kondisinya parah. Hanya akan diperbaiki selalu. Ah, saya juga
sayang Mio. Sudah seperti bagian dari keluarga. Lekas sehat kembali ya, Mio,
setelah berobat ke klinik bengkel.
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
5 komentar
Aku juga punya motor kesayangan meski pernah dipake jatuh heheh
ReplyDeleteWaaahhhh... Teman seperjuangan,bedaa ya mbak Lisa rasanyaaa...
ReplyDeleteOh ini ceritanya yg diajak guling guling itu
ReplyDeleteWah jadi teringat Mioku yang udah gak ada... hiks...
ReplyDeleteMio memang selalu dihati Yo Mba. Aku keliling Jawa Yo numpak Mio.
ReplyDelete