Pil Putih
image by google |
“Ayo,
diminum! Langsung dua pil sekaligus. Jangan hanya satu, nanti kurang manjur,”
ujar lelaki berbadan tinggi dengan perut buncitnya. Dadanya yang tidak tertutup
kain nampak berkilat oleh keringat.
Tangan
mungilnya gemetaran menerima dua pil kecil berwarna putih. Lelaki itu
mengatakan bahwa pil ini digunakan untuk mengeluarkanku dari dalam rahim wanita
ini. Padahal aku sudah mencintainya sejak pertama kali aku dititipkan di sini. Tempat
yang sungguh membuatku nyaman. Lelaki buncit yang katanya adalah calon ayahku
tega melakukan hal itu kepadaku. Katanya aku hanya akan menjadi beban, karena
ia sedang menganggur, tidak punya penghasilan tetap.
Calon
ibuku, wanita ringkih hanya pasrah dengan uraian air mata, tanda tak memiliki
kekuasaan tatkala tangan kekarnya memaksanya untuk menelan dan menyiram
tenggorokannya dengan segelas air yang dibawa. Sebelumnya wanita yang akan
menjadi ibuku ini dinasehati olehnya, lebih tepatnya ia memarahi calon ibuku
karena kebandelannya menolak perintah. Ada doa yang diucapkannya untukku, agar
aku kuat.
Aku
melesat bersembunyi sesaat pil putih itu masuk ke dalam. Aku tak ingin keluar
dari rahim ini hingga waktunya aku harus keluar. Bukan saat ini pastinya, masih
ada 28 minggu lagi. Aku melesat dengan cepat, secepat kecepatan cahaya untuk
bersembunyi. Berharap tidak akan memberikan efek apa-apa.
“Cepat
minum pil ini. Langsung dua, jangan hanya satu, nanti kurang manjur,” kataku
dengan wajah sedikit emosi. Keringatku sudah mengalir di dadaku yang tidak
tertutup oleh kain, sehingga dadaku nampak mengkilat.
Kulihat
wanita ringkih di hadapanku hanya menangis, tertunduk pasrah setelah aku
menasehatinya. Lebih tepatnya memarahinya karena kebandelannya menolak apa yang
aku perintahkan. Aku tak ingin ia lahir di dunia ini, hanya akan menjadi
bebanku saja. Apalagi aku sedang menganggur, tidak punya penghasilan tetap.
Kupaksa
dua pil kecil masuk ke dalam tenggorokannya, kuangsurkan segelas air bening
agar pil itu lancar dan bekerja dengan baik. Aku tak tahu, apakah calon bayi
dalam rahim istriku akan keluar seperti harapanku.
Kamu,
wanita ringkih yang ia nikahi setahun lalu. Sekarang memaksamu untuk menelan
dua butir pil kecil agar calon anak yang ada dalam kandunganmu keluar. Sebelumnya
ia menggunakan kekuasaannya sebagai suami dengan menasehatimu, lebih tepatnya
memarahimu. Hanya isakan tangis yang kamu miliki, tanpa bisa menolak semua
keinginannya. Padahal dalam hatimu, semuanya bertentangan. Meskipun ia
mengatakan bahwa anak yang akan lahir ini nantinya hanya akan menjadi beban. Kamu
tetap yakin untuk melanjutkan kehamilan. Walaupun ia sedang menganggur, tidak
memiliki penghasilan tetap.
Sekali
lagi kamu tak bisa berbuat apa-apa, manakala tangan kekarnya memaksamu untuk
menelan bersamaan dengan segelas air bening yang disodorkannya. Hanya air
matamu menjawab semua kepedihan hatimu. Kamu pun berdoa dalam hati, semoga anakku
akan kuat hingga waktunya untuk keluar. Dua puluh delapan minggu lagi, bukan
saat ini.
Satu
jam berlalu dengan menegangkan. Aku duduk di tepi ranjang mengamati wajah manis
yang begitu kucintai. Kudapati wajahnya menahan rasa sakit, tetapi tidak
satupun rintihan yang keluar dari mulut mungilnya. Dia hanya menggigit
bibirnya, tanpa suara, bahkan tangisan dari matanya. Kedua tanganku sudah
mengepal, gemas tak sabar menunggu reaksi yang terjadi. Mudah-mudahan sesuai
keinginanku. Bayi dalam rahimnya yang masih berupa calon itu akan keluar
bersama rintihannya.
Beberapa
waktu kemudian, wanita itu memegangi perutnya, bergullingan di atas kasur. Tetap
tanpa suara dan tangisan. Hanya keringat yanng nampak muncul di kening. Wajahnya
sudah pucat, pias tak berwarna. Tiga puluh menit ia bergulingan di atas kasur
hingga tertidur. Mungkin kelelahan.
Aku
sudah bersembunyi jauh, kekuatan doa dari ibuku menguatkanku. Aku hanya ingin
bersamanya kelak, ada dalam dekapannya. Aku melihat wajah manisnya menahan
sakit. Obat itu pasti sedanng bekerja. Namun, tak kudengar rintihan bahkan
tangisan kulihat dari wajah ayunya. Ibuku menahan sekuat mungkin. Keringat berhamburan
muncul dari keningnya.
Beberapa
waktu kemudian, ibu memegangi perutnya, bergulingan di atas kasur. Tetap tanpa
suara dan tangisan. Keringatnya makin banyak mengucur membasahi bajunya. Wajah ibu
sudah nampak pucat, pias tak berwarna. Tigapuluh menit sudah ibu bergulingan di
atas kasur hingga meringkuk tertidur. Mungkin kelelahan.
Setelah
dua pil berhasil kamu telan, perutmu bereaksi dengan hebat. Mulut mungilmu
menahan semua rintihan kesakitan yang diakibatkan oleh bekerjanya pil. Tak sedikitpun
tangisan menitik dari matamu. Kamu memang wanita mungil yang hebat.
Beberapa
waktu kemudian, kamu nampak memegangi perut dan bergulingan di kasur. Masih tanpa
suara dan tangisan. Keringatmu makin banyak, membasahi bajumu. Wajahmu sudah
pucat tak berwarna. Tiga puluh menit sudah kamu bergulingan di atas kasur
hingga akhirnya tubuhmu meringkuk tak bergerak. Kamu tertidur, mungkin
kelelahan.
#OneDayOnePost
#TantanganMamakVinny
#3POV
Tags:
Cerpen
2 komentar
Hiks hiks...Mb lis critamu kui..hiks hiks
ReplyDeleteCup.. Cup.. Mbak..
ReplyDelete