Enyahlah!
Kenapa aku masih mengingatmu? Padahal aku yakin, kamu sudah lulus melupakanku. Lulus dengan gelar cumlaude. Selamat ya....
Sebenarnya aku ingin membuangmu jauh, ke segitiga bermuda, atau ke laut artktik yang bisa membekukan hatiku juga. Agar hatiku menjadi utuh kembali setelah kepergianmu.
Apakah aku harus meratapi kesedihan yang aku rasakan sendiri? Apakah kamu juga sedih pada saat kita tak lagi bersama dalam ruang rindu yang pernah kita ciptakan? Sepertinya hanya aku yang merasakan kesedihan ini. Tidak kamu!
Berawal hanya ingin meminta perhatianmu agak lebih. Bermula dari rasaku yang sulit mempercayaimu, akhirnya berujung dengan keputusan sepihak darimu. Sepihak kan? Sebab aku tak pernah setuju dengan keputusan ini. Kamu hanya terluka dan marah, kemudian diam selamanya. Seperti itulah yang selalu kamu lakukan kepadaku. Hanya diam, seolah aku seorang ahli nujum yang bisa tahu isi hatimu tanpa kamu berkata.
Keputusanmu begitu menyadarkan segalanya. Perasaan yang begitu aku bingkai dalam hatiku sejak lama, hancur berkeping. Aku mulai membencimu perlahan. Lelaki yang tak pernah mau berjuang. Lelaki pengecut yang hanya bisa memberi harapan tinggi, lalu menjatuhkanku. Praakk ... sakiiit sekali.
Penyesalan itu datang terakhir. Mengapa harus kamu ungkapkan segala rasa yang sungguh sudah kusimpan dengan baik. Karena aku tahu resikonya. Hanya akan melambungkan angan dan mimpiku. Dan ujungnya menjatuhkanku ke dasar jurang. Hingga aku sulit memanjat keluar dari dasar jurang.
Seharusnya kamu tak perlu katakan bahwa kamu mencintaiku. Dengan tambahan embel-embel akulah cinta pertamamu. Perasaanmu yang begitu meraja di hatiku, mampu membuatku yakin. Aku juga mencintaimu. Merasakan cinta dalam hidupku untuk pertama kalinya. Memberikan warna seindah pelangi tanpa aku minta.
Empat tahun kamu ada dalam ceritaku. Menguatkanku dalam laraku. Menerangiku kala aku sering tersesat dalam gelap. Kamu selalu ada di mana dan bagaimana aku saat itu. Bahkan aku mengenal baik keluargamu. Satu keyakinanku, keluargamu begitu baik menerimaku, meski mereka tahu aku hanya singgah sesaat di hati anak lelakinya. Bukan sebagai permaisuri yang akan dipuja selamanya.
Aku hanya ingin menangis lagi. Hanya itu. Agar aku bisa kembali merangkai kata. Karena kamu adalah ideku. Mengurai sedih yang kembali singgah ketika sepi itu memelukku. Apalagi di saat rindu itu begitu kuat memenjaraku hingga lapisan langit ke tujuh. Aku masih berdiri dengan rapuh, tanpamu. Tapi aku selalu berdoa untukmu. Untuk kebahagiaaan yang kamu pilih.
#TulisanGaje
Tags:
Cerpen
1 komentar
Move on... move on... udah mau ganti tahun nih :)
ReplyDelete