Tanpa Nama
image:google |
Alika
Ketika
aku menitipkan hatiku kepadamu, sungguh aku percaya, engkau tak akan membuatnya
retak. Tapi ternyata aku salah. Kau justru memecahkannya hingga hancur berserak...
Alika
memeluk kedua lututnya dengan erat. Bahunya berguncang. Suaranya menggema di
atas tebing. Menyerukan kepedihan atas luka hatinya. Tak peduli dengan tatapan
aneh beberapa ekor burung yang melintas. Yang dia rasakan hanya ingin
mengeluarkan sesa di dada agar hatinya menjadi lega. Duduk tanpa alas apapun,
membiarkan vario hitamnya berdiri di seberang. Baginya ini adalah tempat yang
pas. Tak akan ada orang yang mendengar jeritan tangisnya.
Mendongak
ke bawah, terlihat aliran sungai yang jernih. Ada batu-batu besar yang
menghambat aliran sungai. Di seberang tebing yang sama tingginya, berderet
pohon dengan angkuhnya. Besar dan kokoh.
Alika
masih tersedu, menghabiskan sisa kesedihan yang sudah ia pendam. Matanya
menerawang jauh menembus langit yang mulai tertutup awan hitam. Sekali lagi
Alika tak peduli.
“Kita putus saja, ya. Sepertinya
kita mulai sering berbeda pendapat. Ada saja yang membuat kita harus berdebat
dan berujung dengan pertengkaran. Maafkan aku.” bunyi whatsapp yanng dikirmkan
untuk Alika.
“Oke, siapa takut!” balas Alika tak
kalah sengit. Merasa tertantang usai debat kusir yang dilakukannya dengan
seseorang di seberang telefon. Emosinya tersulut dengan cepat. Bereaksi atas
sikap yang diterimanya.
“Terimakasih atas semuanya.” salam
terakhirnya.
“Ya, aku tak akan mengganggumu
lagi!” balas Alika.
Kemudia sepi menghampiri keduanya.
Biasanya jika Alika emosi, tak pernah keluar kata-kata untuk putus. Hanya diam
dan beberapa hari kemudian akan baik kembali. Hingga keesokan harinya, Alika
tak mendapatkan chat seperti hari sebelumnya. Sedikit kecewa. Masih agak marah,
namun coba diredam. Ditekannya tuts handphonenya mengucapkan kata maaf atas
pertengkaran semalam. Terkirim, tapi tidak berbalas. Alika kembali merayu.
“Masih marah ya? Maaf...Udahan dong
marahnya. Baikan lagi yuk!” kembali terkirim. Tetap hanya sampai dibaca saja.
Alika masih belum menyerah.
Dikirimkan lagi chat dengan emot senyum. Hanya jawaban, “maaf” yanng tertulis.
Alika terdiam. Jawaban singkat dari
lelaki yang dicintainya cukup membuatnya paham. Hubungan mereka memang harus
berakhir. Alika masih belum begitu sedih. Karena kejadian sebelumnya juga
sering. Mereka berdebat, diam, dan akan kembali menyapa setelah masing-masing
merasa rindu. Alika memutuskan untuk menunggu hingga amarah yang sedang
menguasai lelaki yang dicintainya reda.
Bersambung...
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
4 komentar
Cusss selanjutnya...
ReplyDeletecap cus 2
ReplyDeleteAduhhhh ... mbrebes mili neh iki engko Lis moco
ReplyDeleteAduhhhh ... mbrebes mili neh iki engko Lis moco
ReplyDelete