Tanpa Nama bagian 4
image:google |
Genta
Napasnya
tersengal seperti orang yang habis berlari maraton. Terbangun tengah malam dengan
mimpi aneh. Alika, gadis yang pernah ia cintai memberinya sepucuk surat. Dan ia
membaca hingga selesai. Alika yang memintanya untuk membacanya sesaat setelah
ia pergi meninggalkan Genta. Dalam mimpinya, wajah Alika pucat pasi, berbalut
gaun warna putih. Tersenyum dengan manis. Masih sama seperti senyum yang ia
lihat pertama kali mengenalnya.
“Alika...”
lirih Genta menyebut namanya. Keputusannya untuk mengakhiri hubungan bukan
tanpa alasan. Ia merasa Alika yang sekarang menjadi lebih cerewet. Lebih sering
ngambek, meskipun ngambeknya tak pernah lama. Hanya bertahan beberapa jam. Lalu
menguap berganti dengan cerita-cerita ramainya. Genta tak suka dengan gaya
Alika yang mulai berubah. Ia tak ingin disidang ataupun dihakimi. Ya, ini
memang terkesan egois. Meminta Alika yang selalu memahaminya. Jujur ia juga
sangat merindukan Alika. Perasaannya tak pernah berubah hingga detik ini,
ketika mimpinya tentang Alika.
Jantungnya
masih berdegup kencang. Bergegas diambilnya segelas air bening. Ditenggaknya
tak bersisa. Mengambil handphone yang tergeletak di atas meja. Memencet tombol
power. Berharap ada chat dari Alika, gadis yang tak pernah menyerah merayu
ketika dia marah. Kosong. Hanya ada panggilan tak terjawab berkali-kali dari
Tyas.
Genta
ingin menelfonnya, tapi diurungkan manakala melihat jam yang sudah bergeser
mendekati waktu pagi. Pukul tiga. Mendadak pikirannya teringat Alika. Ada rasa
aneh yang tiba-tiba hadir. Resah, gelisah, dan semacam ketakutan. Ada apa
dengan Alika? Chatnya terakhir menunjukkan waktu siang. Berarti dia belum
online sejak siang. Tumben...
Tangan
Genta hendak meraih handphone untuk mengetik chat menanyakan kepada Tyas kabar
terakhir Alika. Belum selesai jarinya mengetik, Tyas menelfon.
“Genta...”
tanpa mengucap salam Tyas langsung menyebut namanya. “Segera ke sini. Alika kecelakaan
tadi siang dan koma.” suara Tyas mengejutkan Genta.
“A...a..apa,
Tyas?”
“Sudah
jangan bengong! Buruan naik bis terpagi yang berangkat. Sebelum kamu menyesal!”
Tanpa
dikomando dua kali Genta bergerak secepat kilat menuju kamar dan berganti
pakaian. Menyambar beberapa potong pakaian, memasukkan dengan tangan gemetar ke
tasnya. “Ya Tuhan, selamatkan Alika,” tanpa sadar matanya panas. Ia ingat
dengan mimpinya, dengan isi surat yang ia baca. Permintaan maaf Alika dan
segala alasan ia begitu bawel.
“Alika,
bertahanlah. Kamu harus kuat.”
Bukan
menuju rumah sakit yang dibilang oleh Tyas. Genta diminta untuk segera meluncur
ke pemakaman begitu ia mengabarkan sudah tiba di Baranangsiang. Bandung Bogor
yang hanya ia tempuh sekitar empat jam tak mampu membuat Alika bertahan. Tuhan
berkehendak lain. Alika menghadap Tuhan dengan senyum termanis yang ia berikan.
Senyum yang sama di malam ketika Genta bermimpi.
Genta
mengusap air matanya. Masih bersimpuh di samping gundukan tanah merah yang basah.
Genta tak sempat menggenggam jemarinya memberinya kekuatan, bahkan di saat
terakhirnya.
Tangan
Tyas menepuk lembut pundaknya. “Kecelakaan itu merenggut nyawa Alika. Di tas
Alika aku menemukan sepucuk surat. Ada namamu, berarti untukmu. Bacalah,
mungkin ada sesuatu yang ingin Alika sampaikan.” Tyas menyodorkan surat untuk
Genta. Gemetar tangan Genta menerimanya. Mimpi malam itu kembali mengusiknya.
Bentuknya sama.
Dibukanya
perlahan amplop putih yang tidak direkatkan. Dibacanya perlahan barisan kalimat
yang Alika tuliskan untuknya. Membuat tubuh Genta semakin tegang. Tak sadar
Genta terisak. Tyas kembali menepuk lembut pundaknya.
“Surat
Alika sudah kubaca tadi malam dalam mimpiku. Ia datang dengan wajah pucat,
tersenyum manis kepadaku. Isinya sama persis,” terdengar getaran suara Genta. Tubuhnya
terasa lemas tiba-tiba.
“Alika....”
Genta menyebut nama Alika. “Aku masih begitu mencintaimu. Maafkan aku.”
Selesai....
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
4 komentar
Sad ending, hikssss
ReplyDeletesedih..hiks hiks
ReplyDeleteIsh.. Genta sihhhh...jahatt!!
ReplyDeleteSedih bacanya.
ReplyDelete