Roti Palsu bagian 1
image:google |
Cahaya
keemasan menyilaukan mata memaksaku untuk segera bangun dan menyusul kedua
saudaraku yang sudah terlebih dahulu beraktifitas. Kulirik sekitarku. Alas empuk
milik Putih dan Hitam sudah terlipat rapi. Pasti mereka sudah asyik bercanda
dengan yang lainnya di halaman depan. Biasanya pagi-pagi begini mereka akan
bermain hingga puas sambil menunggu jatah sarapan.
Kulengkungkan
tubuhku ke kanan dan ke kiri. Sekedar melemaskan otot-otot yang kaku dari
semalam. Dengan langkah malas kuayunkan kaki bergerak menuju depan. Ibuku masih
asyik mengawasi gerakan Putih dan Hitam. Melihat kedatanganku, Ibu mendekatiku.
“Sudah
bangun rupanya kau, Belang,” kata ibu sambil menjilati tubuhku dengan sayang. Aku
paling suka diperlakukan seperti ini oleh ibu. Seperti masih kecil. Kuenduskan kepalaku
di ketiak ibu. Ekorku berkibas manja.
“Ibu,
hari ini aku ingin makan yang berbeda. Bosan aku dengan makanan itu-itu saja.” kataku
kepada ibu. Mendengarnya ibu hanya tersenyum. Aku sudah terlalu sering
mengatakan kepada ibu tentang kebosanankku dengan makanan yang diberikan. Sesekali
lidahku ingin mencoba yang lainnya.
“Kamu
ingin makan apa?” tanya ibu. “Nanti Ibu carikan. Siapa tahu ada makanan yang
berbeda untuk kita hari ini.” lanjut ibu.
Aku
mengangguk senang. Bayanganku ingin menikmati sepotong roti yang biasa disantap
setiap pagi. Liurku selalu menetes ketika melihat anak kecil di sebelah rumah
menikmatinya. Roti dengan lubang tengah. Bertabur warna coklat. Coklat itu penuh
melingkari. Sekali gigit rasanya nikmat sekali. Dan ibu memahami keinginanku. Semoga
ibu membawakan makanan yang sangat aku inginkan.
Ibu
memintaku dan kedua saudaraku untuk menunggu. Ibu hanya akan pergi sebentar. Kami
asyik bermain berkejaran. Saling menubruk, berguling, mencakar, kemudian
tertawa bersama. Hal yang paling membuatku bahagia. Tubuhku yang paling besar dengan
warna belang dan ekor panjang. Putih dan Hitam tubuhnya tidak sebesar tubuhku. Kami
tiga jantan jagoan ibu.
Dari
jauh aku melihat ibu berjalan menggigit roti yang kuimpikan. Ada bekas gigitan
di bagian tepinya. Tapi hanya sedikit. Aku melompat kegirangan. Tubuhku berlari
berputar-putar. Putih dan Hitam hanya tertawa menyaksikanku.
“Ayo,
makanlah bagian kalian masing-masing.” kata ibu memotongnya menjadi tiga
bagian. Aku sedikit cemberut. Jatah makanku berkurang. Harusnya kue ini menjadi
santapanku semua. Tanpa perlu dibagi. Aku hanya diam menatap bagian kue yang
disodorkan ibu. Hilang sudah selera makanku.
“Kok
kamu tidak makan, Belang?” tanya Hitam sambil mengunyah makanannya.
“Sudah
nggak selera,” jawabku sekenanya.
Putih
menatapku. Disodorkan bagiannya yang tinggal sedikit. “Kamu kurang ya? Nih,
makan punyaku.”
Aku
tetap menggeleng tak berselera. Inginku utuh, bukan dibagi-bagi begini. Ibu dan
Putih menatapku. Tampak ibu sedikit kecewa.
“Kamu
nggak ingin makan bagianmu, Belang?” lembut ibu bertanya.
“Aku
ingin semuanya, Bu. Bukan dibagi bertiga. Mana aku kenyang!” jawabku dengan
kesal. Berlalu meninggalkan ibu dan saudaraku. Lebih baik aku pergi mencarinya
sendiri. Meskipun perutku sudah sangat lapar. Masih kudengar suara ibu dan
Putih memanggil namaku. Tapi tak kuhiraukan panggilan mereka. Aku sudah
terlanjur kesal.
Kuikuti
ke mana kakiku ingin melangkah pergi. Bunyi perut yang lapar sudah kuabaikan. Berharap
ada yang berbaik hati melempar makanannya kepadaku. Sekedar mengisi perutku
agar tidak melilit.
Dari
jauh aku melihat si Abu sedang menggigit sebuah roti. Bukan roti yang aku
inginkan. Namun perutku sudah tidak tahan minta diisi. Kuberanikan untuk meminta
sedikit saja bagiannya. Dan Abu tidak keberatan. Aku menggigitnya. Berniat menjauh
dari tempat Abu makan. Tidak tahan dengan bau badannya yang jarang tersentuh
oleh air.
Belum
sempat aku menggigit pemberian Abu, aku dikagetkan oleh suara.
Bersambung....
#OneDay OnePost
Tags:
Cerpen
2 komentar
suara bersambung kayk gmn ya bund El,,???
ReplyDeleteMeong meong
ReplyDelete