Kita Sama
image:google |
Kami
selalu berkumpul di sini. Berbincang bersama dalam satu kios. Banyak yang kami
perbincangkan. Mulai permasalahan yang terjadi di sekitar kita ataupun yang ada
di luar. Dan perbincangan kami selalu seru.
Tetapi
hari ini berbeda. Ada yang baru menghuni kotak sebelahku. Bentuknya kecil
dengan corak bagus. Seperti diukir. Aku menyambutnya dengan gembira. Berarti akan
semakin ramai saja kios ini. Pak Kumis sebagai pemilik kios tentunya sedang
berkembang usahanya, sehingga bertambah barang yang dijual.
“Kamu
berasal dari unggas jenis apa?” tanyaku penasaran.
Dia
menatapku dengan sedikit kebingungan. Lalu tersenyum. “Aku berasal dari unggas
kecil, bernama burung puyuh.”
“Jadi
kamu telur puyuh? Aku baru lihat. Bagus sekali tubuhmu. Bercorak.” kata telur
ayam negeri dengan kagum. Telur bebek ikut tersenyum.
“Coba
berputarlah. Aku ingin melihat corakmu!” pinta telur bebek. Dengan semangat
telur puyuh mengikuti permintaan telur bebek. Dia berputar dengan lincah. Semua
bertepuk tangan melihat aksinya.
“Berarti
aku paling bagus dong di sini dibandingkan dengan kalian yang pollos tidak
becorak.” Sahut telur puyuh mulai terlihat angkuh.
Semua
telur berpandangan. Selama ini yang tinggal di kios ini tidak ada yang merasa
lebih baik.
“Maksudmu?”
selidik telur ayam negeri.
“Lihat
tubuhku. Meskipun aku kecil aku paling cantik. Badanku tidak polos seperti
badan kalian.” Telur burung puyuh semakin pongah.
Telur
ayam kampung yang dari tadi hanya diam ikut bicara. “Kalian adalah sama. Hanya berbeda
di luar saja.”
“Tidak!
Tetap berbeda.” Sahut telur puyuh dengan cepat.
Telur
ayam kampung kembali tersenyum. Semua memandang telur ayam kampung menanti
penjelasan lebih lanjut. “Di luar saja kita berbeda. Ada yang bercorak seperti
telur puyuh. Ada yang polos sepertiku. Berwarna seperti telur bebek dan telur
ayam negeri. Tapi lihatlah, jika kita buka cangkang kita, apakah berbeda?”
Semua terdiam. Saling pandang satu dengan
lainnya. Kemudian tertunduk.
“Kita
di dalam isinya sama. Putih telur dan kuning telur. Apakah ada yang lain?”
lanjut telur ayam kampung.
Telur
bebek tertawa. “Iya, ya. kita ini sama. Hanya cangkang kita yang berbeda. Jadi nggak
usah merasa lebih bagus.”
“Betul...betul...”
manggut-manggut telur ayam negeri. Telur puyuh mengangguk. Menyadari kekeliruannya.
“Maafkan
merasa lebih bagus.” lirih ucap telur ayam puyuh.
“Kita
memaafkan kok.” peluk telur ayam kampung. Kami berangkulan.
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
5 komentar
Kagum sama tulisan Mba Lisa. Bikin Na senyum-senyum mbacanya. Idenya itu loh.. Kereenn
ReplyDeletehahahahaha mba lisa ...keren euy
ReplyDeleteSukaaaa...ya selalu suka tulisan mba Lisa.
ReplyDeleteHhiii... Macam iklan sunlight, piring sendok mangkok seperti hidup.
ReplyDeleteHebaattt mbak...
ini masuk kategori fiksi ya ka Lisa ?
ReplyDelete