Ibuku, Pahlawanku bagian 4
image;google |
“Tapi
omongan mereka salah kan, Bu?” tanya mbak Alya.
“Apa
yang mereka katakan tentang ibu?”
Sebelum
menjawab kami terdiam. Memilih kalimat yang pas agar tidak menyinggung perasaan
ibu. “Mereka bilang, Ibu tak ubahnya seperti wanita yang tinggal di Kampung
Baru,” lirih mbak Alya mengucapkan kalimat tersebut.
Ibu
terdiam, tertunduk kepalanya. Lirih ibu berucap, “Iya, Ibu memang seperti itu.”
“Ibu...”
mata kami terbelalak. Satu kalimat jawaban ibu sudah cukup menjawab rasa
penasaran dan segala prasangka kami tentang ibu. Mbak Alya memelukku, menangis
kami berdua. Ibu tak bergeming dari duduknya.
“Jadi
Ibu memberikan makanan kepada kami dengan uang haram?” dengan nada tinggi aku
bertanya kepada ibu.
“Tidak!”
jawab ibu tak kalah tinggi.
“Kata
Ibu barusan, Ibu tak ubahnya seperti wanita yang tinggal di kampung sebelah
kan? Kalau bukan uang haram, lantas apa kami menyebutnya?” masih dengan nada
tinggi aku membalas perkataan ibu.
“Dengarkan
Ibu! Ibu berbuat seperti itu hanya untuk melunasi hutang keluarga kita yang
makin mencekik. Hutang dari berobat bapak. Hutang dari warung kita yang
semuanya gagal.” Jelas ibu masih dengan nada tinggi diiringi isak tangis.
“Jika
hutang itu tidak segera Ibu bayar, rumah peninggalan bapak akan diambil. Padahal ini
adalah satu-satunya harta kita.” Lanjut ibu.
“Kalau
hutang itu sudah lunas, Ibu akan berhenti.” pelan ibu mengakhiri perkataannya.
“Untuk makan kalian dan biaya sekolah, Ibu memakai uang pensiun bapak. Sisanya
berhutang di warung dan akan Ibu bayar saat pensiun bapak turun nanti.”
Mendengar
penjelasan ibu, tangis kami makin kencang. Beban ibu begitu berat.
“Maafkan
kami, Ibu. Tapi kami ingin Ibu berhenti melakukannya. Sudah, Ibu, jangan
lakukan lagi!” berhambur kami memeluk ibu yang masih menangis terisak.
“Kita
bisa berjualan lagi, Bu. Aku akan berkeliling lagi menitipkan kue buatan Ibu.
Kita bisa memulai dari awal lagi, Bu.” kataku.
“Tidak
bisa. Modal saja Ibu tak punya. Hanya ini cara cepat untuk melunasinya.”
Pelukan kami dibalas erat oleh ibu. “Abaikan omongan tetangga. Mereka tidak pernah tahu
dengan kesulitan yang kita alami. Ibu berjanji, tinggal sedikit lagi hutang itu
akan lunas. Dan Ibu tidak akan melakukannya lagi.”
“Ibu...”
bertiga kami kembali menangis. Saling memberi kekuatan dan keyakinan bahwa
semuanya akan kembali normal.
“Kalian
malu memiliki Ibu seperti ini?” tanya ibu menatap wajahku dan mbak Alya
bergantian.
Tegas
kami menggeleng. “Ibu tetap menjadi pahlawan bagi kami. Meskipun perbuatan Ibu hina, tapi kami tetap sayang Ibu,” mbak Alya mewakili jawabanku juga.
“Maafkan
Ibu, membuat kalian malu,”
Kami
hanya menangis, mencari arti dari semua yang sudah terjadi. Ada doa terselip,
semoga ini yang terakhir ibu lakukan.Besok malam ibu sudah bersama kami seperti
dahulu.
Tamat
#OneDayOnePost
#TantanganTemaPahlawan
Tags:
Cerpen
5 komentar
Nangis aku mbak
ReplyDeleteDuh.. Berderai. Bisaan mba Lisa bikin aku begini. Hiks. 😢
ReplyDeleteHuft...selesai baca juga akhirnya.. Hidup memang tak jarang begitu memilukan
ReplyDeleteSedih banget mba
ReplyDeletehuaaaaa hiksss...
ReplyDelete