Ibuku, Pahlawanku bagian 1
image:google |
“Lihatlah,
anaknya tidak jauh berbeda dengan kelakuan ibunya,” bisik tetangga ketika aku
baru turun dari sepeda motor. Diantar oleh Arif teman sekelasku. Aku turun
persis depan rumah. Tetangga yang ada di sebelah rumah seperti biasa sudah
asyik bergerombol membicarakan topik hangat yang siap jadi bahan gosip
menyenangkan.
Arif
menatapku meminta penjelasan. Aku hanya tersenyum, mendorong tubuhnya agar
segera pergi menjauh dari rumah. “Sudah sana pulang!” kulambaikan tanganku
mengusirnya. Arif hanya tersenyum kecut meninggalkanku yang langsung berjalan
menuju pintu tanpa memedulikan omongan aneh sekelompok ibu-ibu yang masih seru
membicarakan hot news.
Aku
tidak menyalahkan omongan mereka, tapi tidak seratus persen membenarkan. Mendadak
kedua mataku panas. Sebetulnya nggak ingin ikut-ikutan menyalahkan ibu. Hanya
aku tak tahu harus mengatakan apa.
Kubuka
pintu kamarku. Mbak Alya sudah tiba lebih dahulu. Masih dengan seragam
abu-abunya rebahan di kasur membaca majalah lama. Menatapkku sekilas lalu
kembali menekuri barisan kalimat dalam majalah tersebut. Kuambil duduk di
sebelahnya. Menyentuh pundaknya untuk mengalihkan sejenak dari kegiatannya.
“Hmm...”
hanya deheman yang terdengar keluar dari mulutnya. Matanya masih asyik. “Kalau
hanya ingin membicarakan masalah ibu, lebih baik aku membaca saja.”
Tak
kujawab perkataan mbak Alya. Membicarakan masalah ibu memang tak pernah ada
habisnya. Manyun bibirku menunjukkan bahwa aku sedikit kesal dengan sikap mbak
Alya. Mbak Alya tertawa melihatku. Bergegas kuganti pakaian putih birukku
dengan baju rumahan. Setelan celana selutut, motif kotak kotak berwarna biru
gelap. Berjalan ke arah dapur mengambil makanan kecil dalam toples. Meletakkan
di atas kasur di antara mbak Alya dan aku yang mengikuti posisinya.
Kuambil majalah
lama yang rasanya sudah hapal luar kepala isinya. Bahkan hingga ke iklannya aku
hapal. Pikiranku menerawang jauh.
“Mbak,
sebetulnya ibu pergi ke mana sih? Setiap siang pergi dan pulang menjelang
malam. Benarkah gunjingan para tetangga kalau ibu kita sama seperti kampung
sebelah?” lirih kutanyakan hal yang dari awal sudah dikatakan mbak Alya tak
usah dibicarakan.
Mbak
Alya menatapku. “De, tadi kan...”
Belum
selesai mbak Alya berkata sudah kupotong. “Aku nggak mau digosipin terus
seperti ini mbak. Sudah kita tinggal dekat Kampung Baru. Eh, ibu kita digosipin
pula seperti itu. Kan nggak enak, Mbak.”
Aku
hanya mendengar desahan berat dari mbak Alya. Aku tahu, dia juga pasti
mendapatkan perlakuan yang sama sepertiku. Digosipin. Apalagi wajah mbak Alya
lebih ayu dibandingkan wajahku yang kata almarhum bapak manis. Kulit putih ibu
dengan mata sipitnya menurun ke mbak Alya. Aku hanya kebagian mata belok dengan
kulit sawo matang seperti kulit bapak. Wajahku juga mewarisi wajah bapak.
Satu-satu deh pokoknya, adil agar semua kebagian dari bapak dan ibu.
Bersambung...
#OneDayOnePost
#TantanganTemaPahlawan
Tags:
Cerpen
3 komentar
Kebiasaan buruk sekaligus jd penyakit dalam lingkungan masyarakat adalah gosip.
ReplyDeleteSiapapun pasti risih kalau sudah jd buah bibir. Gak masalah jd bakal bermasalah.
Ditunggu kelanjutannya, mba.
Cap Cus ke 2
ReplyDeletehhaa... emak-emak kurang bahan obrolan....
ReplyDelete