Burung Pipit dan Orang-orangan Sawah
Hush...sana! Jauh-jauh dari padiku!
Suara
kasar dan keras itu kembali menghalau. Mau tak mau terbang juga menghindar. Padahal
perut kecil ini masih merintih. Kalau diperhatikan ia hanya bergoyang-goyang
karena ditarik oleh seutas tali. Berdandan ala petani. Memakai caping, dua
tangan direntangkan ke samping. Ketika talinya digoyangkan, cukup membuat
nyaliku dan kawan-kawanku menciut.
Hinggap
dulu sejenak ke sebuah pohon yang tak jauh dari makanan incaranku. Kawan-kawanku
yanng lain sudah terlebih dahulu mencari makanan baru. Makanan yang bisa
dilahap tanpa ada yanng mengusir. Tapi tidak denganku. Aku hanya suka berada di
sini. Selain makanannya terhampar banyak, aku juga ingin berbincang lebih lama
dengannya. Satu makhluk yanng berdandan ala petani, yang ditempatkan di paling
ujung untuk menghalauku dan kawananku.
Tak
lagi kudengar suara kasar dan berat yang tadi mengusirku. Kembali kukepakkan
dua sayap mungilku menuju tempatnya. Mendarat tepat di tangan kanannya. Badannya
terbungkus kain hitam dan sarung kotak-kotak. Caping bambunya nampak kebesaran
di kepala. Namun cukup untuk melindungi kepalanya dari sengatan panas matahari
sepanjang siang nanti. Aku melempar senyum kepadanya. Dan dia membalas
senyumku.
“Hai...!”
sapaku.
“Sepagi
ini kamu sudah terbang jauh dari kawananmu. Sudah laparkah?”
Aku
tertawa. Jawaban iya atas pertanyaannya. “Tapi tadi keburu ketahuan oleh
pemilik sawah ini. Padahal aku hanya makan sedikit dari hamparan padi yang begitu
luas.”
Ia
terkekeh mendengar jawabanku. “Iya, aku melihatmu terbang dengan cepat
menghindar ketika tubuhku digoyang oleh pak tani. Sekarang dia sudah pergi. Datang
ke sini nanti lagi. Makanlah kalau kau ingin mengisi perutmu.”
Mataku
membulat. Suara cicitku berbunyi dengan nyaring. Gembira rasanya mendapatkan
ijin untuk mengambil beberapa bulir biji padi yang sudah keemasan. Sekedar mengisi
perut kecilku. Segera kupilih bulir padi yang padat berisi. Bergoyang-goyang di
tangkai padi yanng merunduk karena bulirnya berisi penuh.
Tak
butuh waktu lama untuk membuat perutku kenyang. Aku kembali menghampirinya. Duduk
di bahunya untuk menemani menghalau kawanan burung kecil lainnya. Nggak tega
meninggalkannya sendiri bekerja. Meskipun ia tak bisa berbuat banyak jika tanpa
pak tani. Tubuhnya hanya bisa bergerak saat talinya ditarik. Jika tidak,
kawanan burung sepertiku tetap akan bebas bekeliaran memangsa bulir padi.
Kutatap
wajahnya. Senyum itu kembali menghias. “Sebetulnya aku tak pernah ingin
mengusirmu saat makan padi di sini. Hanya saja aku hanya penunggu sawah pak
tani. Melakukan tugasku atas kemauannya.’
“Iya,
aku paham kok tugasmu. Padahal apa yang kami ambil dari sawah pak tani, tak
pernah banyak. Dan tentunya tak akan menghabiskan seluruh padi yang ada di
sawah ini.” kataku bependapat.
“Tapi
bagi petani, kamu dan temanmu itu dianggap menghabiskan panen mereka.”
Aku
teratwa terbahak mendengarnya. “Ketika kami diijinkan makan dari sawahnya, kami
selalu berdoa untuk petani lo. Agar hasil panennya berlimpah.”
Kami
saling memandang. “Yang penting sekarang kamu sudah kenyang kan?”
Aku
mengangguk. “Kau mau aku temani sampai pak tani datang?” tanyaku.
Ia mengangguk senang. Aku terbang mengelilingi kepalanya yang tertutup caping. Kunyanyikan
lagu agar ia terhibur. Sebagai ucapan terimakasihku telah diijinkan makan bulir
padi.
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
10 komentar
kenapa nggak nyoba dimasukkin ke majalah bobo bunda el??
ReplyDeleteIya, setuju sama bang Ian. Ini Bagus banget ceritanya, mba.
ReplyDeleteBelum pede nih bang ian, mbak.na
ReplyDeletekalau di Sunda orang sawah is bebegig hehe
ReplyDeletekalau di Sunda orang sawah is bebegig hehe
ReplyDeletemuhun gilang..bebegig
ReplyDeleteAjarrin dong mba el
ReplyDeleteIni juga masih belajar mbak..
ReplyDeleteKereeeen mbak Lisa... Setuju sama mas ian dan kak na
ReplyDeleteWah ... apik men "Den-den" (orang-orang sawah) iku Lis
ReplyDelete