Sepatu Roda
Bibir
mungil Hawa –anak ke dua saya- terlihat
manyun sekali, andai bisa saya kuncir, maka akan jadi kunciran bibir. Sudah berkali-kali
saya, kakaknya, dan adiknya mengajak tertawa. Tapi yang ada bukan senyum yang
kami dapatkan, justru semakin maju saja bibirnya.
Seperti
biasa jika Minggu pagi kegiatan saya adalah belanja sayuran ke pasar, untuk
stok sayuran selama seminggu ke depan. Ketika melewati depan perumahan,
terlihat oleh Hawa berjejer orang yang sedang menjual sepatu roda dengan warna
yang menarik. Memang bukan hanya sekali dua kali ia meminta pada saya dan
Abinya untuk dibelikan. Namun kami tidak mengijinkan untuk membeli, meskipun
menggunkaan uang pribadinya.
Kembali
Hawa mengeluarkan jurus rayuan mautnya saat melihatnya. Mengajak kami berhenti
sejenak. Memberanikan diri bertanya kepada si penjual berapa harganya. Saya hanya
mengamati dari atas kuda besi.
Selesai
bertanya, ia menghampiri saya. “Ayolah, Ummi, beliin Kakak sepatu roda yang
kaya itu. Pake uang Kakak, tapi tambahin kurangannya.”
Saya
hanya diam. Bukan kali ini ia merayu. “Kita pulang ya, Nak. Buat apa beli
sepatu roda.”
Hawa
mengikuti permintaan saya untuk pulang. Dengan bibir manyun dan mata
berkaca-kaca. Hingga sampai di rumah ia lari ke belakang. Menangis. Abinya yang
melihat bertanya kepada saya dan tertawa setelah mendengar sebabnya.
Saya
sengaja membiarkan Hawa dengan aksi ngambeknya. Biarlah nanti sore akan saya
ajak berbicara. Dan inilah hasilnya setelah selesai mandi saya dekati.
“Kak
Hawa, boleh Ummi bertanya?” tak ada suara yang menjawab. Saya lanjutkan sambil
tangan saya merangkulnya. “Kenapa Kakak pengen beli sepatu roda? Buat apa?”
“Teman
Kakak punya.” Singkat jawabannya. Saya manggut-manggut. Ternyata karena melihat
temannya punya.
“Kalau
sudah punya? Kakak mau ke sekolah pakai sepatu roda?” tanya saya lagi.
“Enggaklah,
nanti Kakak jatuh!” mendengar jawaban ini saya tertawa. Berarti ia sadar kalau
sebenarnya ia belum bisa memakainya. Dan saya paham betul bagaimana Hawa. Sedikit
takut jika sudah berhubungan dengan luka. Tak pernah ingin terluka, menurut
saya.
“Kakak
sayang, di sekitar rumah tidak ada buat latihan sepatu roda. Jalannya jelek,
sedangkan untuk latihan sepatu roda butuh jalan yang mulus, agar bisa lancar. Ummi
dan Abi tidak bisa memakai sepatu roda. Kakak mau belajar sama siapa?” Hawa
mendengar penjelasan saya. Nampak berpikir. Sedetik kemudian ia tertawa.
“Eh,
iya, ya. Nanti kalau Kakak nggak ada yang ngajarin naik sepatu roda, sama saja
sepatu rodanya tidak terpakai! Nggak jadi pengen, Ummi. Duit Kakak buat beli
tablet saja.”
Lega
saya mendengarnya. Meskipun kalimat terakhir tetap membuat saya was-was. Karena
saya tidak mengijinkan anak-anak bermain game dari tablet. Dan handphone saya
pun tidak saya isi dengan game. Biarlah ia bebas bermain dengan teman-temannya.
Mudah-mudahan
keinginannya untuk memiliki sepatu roda tak muncul lagi.
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
6 komentar
Kak hawa sama dih kayak aku, "tak pernah ingin terluka"
ReplyDeleteEaaa...
oya de...hawa nih paling hati2 agar tidak terluka...jd kesane penakut..jauh banget sm yg pertama..
ReplyDeleteCiani mah beda mbak 'luka'nya ma dede hawa..😂😂😂
ReplyDeleteKeren Mb lisa Anak nya, bijak
ReplyDeleteawalnya juga ambek2an mbak...
ReplyDeleteawalnya juga ambek2an mbak...
ReplyDelete