Ketika Adik Sakit
“De,
makan dulu ya, nanti buburnya keburu dingin,” kata Salsa sambil mengguncang
lembut tubuh adiknya yang berselimut tebal. Tubuh adiknya tak bereaksi, terbungkus
selimut sampai pundaknya.
“De
Riska, bangun ya, Kakak suapin,” kembali lembut Salsa mencoba membangunkan
adiknya. Riska mulai mengerjapkan mata, nampak silau dengan cahaya matahari
yang menerobos memaksa masuk melalui jendela kamarnya yang tadi dibuka oleh
Ummi.
Salsa
membantu adiknya membuka selimut. Duduk bersandar ke tembok, tangannya mengusap
matanya. Mata yang sayu, wajah pucat, bibir kelihatan kering. Air minum dalam
gelas terlihat masih utuh. Tak berkurang. Tanda Riska tak meminumnya. Adiknya yang
satu ini memang susah sekali kalau diminta untuk minum air bening, apalagi
dalam kondisi sakit seperti ini.
“Disuapin
ya, sama Kakak,” Salsa mulai mengambil sendok dan meminta adiknya untuk membuka
mulut.
Kepala
Riska menggeleng lemah. Wajah pucatnya semakin ditekuk, memberikan penolakan
tidak mau membuka mulut melalui wajahnya. Salsa sangat hapal dengan sikap
adiknya.
“Ayo,
maem. Supaya cepat sehat, bisa main lagi dengan teman-teman. Kalau nggak mau
makan, bagaimana cepat sembuh.”
“Pahit
tauk!” sahut Riska dengan nada lemah.
“Namanya
sakit makan apapun juga nggak enak. Makanya jangan mau sakit. Makan teratur,”
sedikit menggerutu karena Riska masih tak mau untuk membuka mulut.
“Kakak
saja yang makan!” bicara seperti itu sambil menutup wajahnya dengan selimut.
Salsa
nampak mulai kesal dengan tingkah adiknya. Diletakkan piring bubur ayam di meja
kecil dekat dengan tempat tidur. Berjalan keluar kamar meninggalkan adiknya
menuju dapur menemui Ummi yang masih berkutat di dapur.
“Adik
masih nggak mau makan, Ummi,” menarik kursi dan duduk dengan bibir manyun. Sedih
sebenarnya, melihat adiknya sakit. Biasanya ia paling bawel, ada saja yang
selalu ditanyakan kepadanya. Meskipun terkadang nyebelin, tapi adik yang asyik
untuk diajak main congklak, cepet-cepetan masang puzle, bola bekel, dan
masak-masakan. Beberapa hari ini adiknya hanya tiduran, tergolek lemah di atas
kasur. Tertutup selimut tebal. Kata dokter, adiknya terkena gejala typhus.
Ummi
melirik Salsa, putri sulungnya. “Bujuk lagi coba.”
“Sudah,
Ummi. Kakak sudah membujuknya agar mau buka mulut. Tetap saja adik nggak mau
makan.” Jelas salsa kepada Umminya.
“Baiklah,
Ummi yang akan membujuknya. Yuk, Kakak ikut Ummi.”
Ummi
berjalan menuju kamar Riska, putri keduanya. Riska sudah duduk tanpa selimut
yang menutup wajah. Melihat umminya yang masuk, bibirnya menyunggingkan senyum.
Begitu melihat sosok kakaknya di belakang ummi, bibirnya kembali merengut.
“Pahit,
Ummi, kalau mau makan.” Belum sempat Ummi menyendokkan bubur ke mulut Riska, ia
sudah memberikan alasannya nggak mau makan.
Ummi
tersenyum. “Kakak Riska mau sembuh kan? Sudah kangen bermain dengan
teman-temannya belum? Kalau sehat, enak mau main, bisa jalan-jalan sama Ummi,
sma Kakak Salsa.”
Riska
diam mendengar jawaban Ummi. Iya, benar
juga kata Ummi. Sakit seperti ini tidak enak. Hanya duduk dan berbaring
sepanjang hari, kata hatinya.
“Tapi
sedikit saja ya, Ummi,” masih dengan lemah mencoba merayu Umminya.
“Disuapin
Kakak Salsa ya?”
Riska
mengangguk. Salsa segera mengambil piring bubur. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin
adiknya lekas sehat agar ada teman bermain. Meskipun kadang-kadang menyebalkan,
tetap saja membuat Salsa kangen.
“Cepet
sembuh ya, De. Biar Kakak ada teman main.”
“Kakak
sayang aku?” polos Riska bertanya sambil mulutnya membuka menerima suapan bubur
Salsa.
“Sayang
dong, De. Ni, buktinya disuapin Kakak.”
Riska
memeluk kakaknya. Ada rindu juga lama tidak bermain dengan kakaknya.
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
0 komentar