Demplon
Azan Asar sudah kudengar dari masjid seberang jalan. Masjid besar yang hanya bisa kulihat kubahnya dari tempatku berdiri. Menatap jalanan yang ramai dengan sibuknya berbagai jenis kendaraan yang berseliweran. Mengantarkan orang kepada kesibukan yang mengikatnya. Rasanya 24 jam kebisingan di atas aspal hitam ini tak pernah berhenti. Ada saja yang masih berputar. Entah itu mobil besar seperti bus ataupun truk besar. Atau hanya roda empat seperti angkot dan mobil pribadi. Tak jarang sepeda motor ikut meramaikan selama 24 jam tersebut. Maklum, jalanan ini dekat dengan jalan tol arah Jakarta dan Bogor.
Selalu kuhabiskan waktu soreku setelah azan berada di sini. Menunggu seseorang yang akan memasang tenda, sebuah warung sederhana yang menyajikan pecel lele, pecel ayam, soto ayam, tempe dan tahu goreng. Sebentar lagi usai azan asar, biasanya ia datang dan segera menyiapkan lapaknya.
Dan aku akan menanti dengan sabar hingga tenda warungnya siap berdiri sepanjang jalan yang ramai ini, bersama tenda-tenda lainnya. Ada bubur kacang hijau Madura, nasi dan mi goreng, ketoorak, martabak bangka, semuanya berjajar rapi merapat ke tepian jalan.
Aku paling suka berdiri di sini. Menanti kehadiran satu persatu penyantap hidangan. Kata orang sambalnya enak, sehingga warung ini terlihat selalu paling ramai dibandingkan dengan warung lainnya yang juga membuka warung dengan menu yang sama. Warung yang berjarak empat warung lainnya.
Saat warung ini sudah siap, tak lama kemudian para penikmat pecel lele akan berdatangan. Memesan makanan. Ada yang dimakan di sini, atau hanya dibungkus. Pemiliknya seorang yang ramah, berusia sekitar lima puluh tahun. Berjanggut rapi, berwajah teduh. Aku suka memandangnya. Meski dia tak pernah menyentuhku, tapi dia sangat baik padaku.
Yang kusuka adalah istrinya. Sangat baik terhadapku. Berlemah lembut jika bicara denganku. Aku paling suka berdekatan dengan istrinya. Konon pasangan ini belum dikaruniai seorang anak. Makanya istrinya begitu sayang padaku.
Aku di sini sudah beranak pinak. Aku dan anak-anakku pengunjung setia warung ini. Bahkan anakku ada yang diadosi oleh istrinya, dibawa ke rumahnya. Istrinya selalu menceritakan kepadaku tentang anak-anaknya yang sudah dia rawat.
Nah, itu dia istrinya datang. Gamis dengan kerudung besar membalut tubuhnya. Setelah siap lapaknya, ketika pengunjung belum ramai, aku akan berada dalam pelukannya. Dicium dengan lembut.
"Doakan ya, Demplon, warungnya ramai hari ini. Biar kamu kebagian makanan yang banyak,"
Dan aku senang sekali dengan permintaannya. Aku akan mengeluarkan suara yang panjang, tanda aku mengaminkan doanya. Selanjutnya aku akan menanti sisa-sisa dari makanan penyantap. Tulang ayam atau kepala lele. Makanan terlezat yang selalu aku nanti setiap hari.
"Duduk dulu ya, Demplon. Mau bantu jualan dulu. Nanti aku pangku lagi," begitu katanya jika ramai pengunjung.
Dan aku akan menjawab " meooong..."
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
4 komentar
Kucing
ReplyDeleteKata uncle endingnya ngetwist.
Tapi memang kok namanya demplon. Aneh untuk manusia
warungnya gak perlu patung kucing lagi ya mbak
ReplyDeleteHahaha...iyo mbak wid, ben keren
ReplyDeleteBener bang ian
Kucing kuliner hihihi
ReplyDelete