Pada Satu Hujan
Hujan
ini mengguyur bumi dari pagi tanpa henti. Membuatku malas bergerak untuk
melakukan aktifitas setelah menyelesaikan rutinitas pekerjaan di rumah sebagai
ibu rumah tangga. Entahlah, melihat hujan dari balik kaca ditemani secangkir
coklat panas rasanya lengkap menemani sore menghitung titik air langit. Sejenak
ingatanku melayang pada satu nama yang selalu terucap dalam setiap doa-doaku.
Ya, satu nama yang cintanya membuatku selalu melambung, selalu merasa
diistimewakan, menerbangkan semua anganku hingga tinggi ke awan. Aku membingkai
namanya dengan segenap cinta yang kupunya. Berusaha memanjakan dan memberinya
kenyamanan agar cintanya tak pernah berpaling dariku. Ah, aku tersenyum
mengingat namanya.
Mas
Mawan, lirih kusebut namanya. Sedikit melambungkan angan tentang tiga hari ini.
Ada kebisuan yang tercipta di antara kami. Aku tidak tahu, apa yang membuat
kami kali ini betah berlama-lama diam. Bukan diam sepenuhnya, karena aku masih
memanjakannya. Masih kubuatkan sarapan, menghidangkan teh ketika malam dia
pulang kerja. Hanya memijitnya dengan manja yang tak kulakukan tiga malam ini.
Mas Mawanku tidur tanpa memelukku, memunggungi aku karena kejengkelannya dengan
sikapku.
Kucoba
mengurai benang merah ini. Aku sudah merindu, sangat merindukannya. Merindukan candanya setiap malam sebelum kami
lelap dalam mimpi, pelukannya agar aku terlelap terlebih dahulu, bahkan pijitan
balasan karena aku sudah memijitnya. Padahal pijitannya tak lebih hanya usapan
lembut setengah iseng menggelitikku agar aku tertawa.
“De,
kenapa ngambek? Mas salah lagi ya?” tanyamu sebelum kita terdiam.
Tak
kubalas pertanyaanmu. Aku hanya mengangguk.
“Salah
Mas kali ini apa, De?”
“Mas
nggak ngabari aku seharian. Telfonku nggak diangkat. Bahkan chatku juga hanya
dibaca. Mas nggak tahu, bagaimana aku cemas?”
Mas
Mawan mengambil nafas. Masalah yang selalu sama. Lupa memberi kabar dan sedikit
cuek, menurutku. Meskipun tak sepenuhnya ia merasa cuek.
Saat
itu Mas Mawan tak memelukku sebagai permintaan maaf. Hanya ucapan maaf dengan
pelan kemudian berlalu pergi begitu saja. Duduk menghabiskan waktu di taman
belakang. Aku yang melihat itu akhirnya makin marah menuju kamar. Sudah sering
hal ini diungkapkan. Aku hanya ingin kabarnya, menyapaku, menanyakan kegiatanku
ketika ia punya kesempatan. Karena waktu bertemu hanya malam hari dan pagi sebelum aku
berangkat dengan rutinitaskku. Sedangkan Mas Mawan menjelang sore baru
berangkat. Aku tidak mengiring kepergiannya, karena aku masih di perjalanan
pulang. Itulah sebabnya kami lebih sering berkomunikasi lewat handphone. dan
ketika Mas Mawan lupa atau enggan berkabar sehari itu, maka yang terjadi adalah
aku selalu ngambek.
Mungkin
keinginanku terlalu berlebihan. Menuntut ceritanya saat kesempatan menghampiri.
Sebelum dia berangkat kerja, di jam istirahatku. Tapi mungkin keinginanku
menurutnya berlebihan. Ah, aku adalah wanita yang selalu ingin dimengerti,
ingin selalu menjadi prioritasnya. Karena akulah wanita yang ada di hatinya.
Aku
menuntut perhatian, karena aku selalu punya waktu untuk Mas Mawan. Berusaha memberi
kabar di sela kesibukanku. Tak sadar aku menangis. Coklat panas terasa mulai
dingin. Sedingin hatiku. Aku harus menyudahinya. Memcah kebisuan. Meskipun segala
rayuan sudah terkirim via chat. Belum juga menyudahi kebisuan ini. Sungguh aku
merindumu, Mas, kuucap pelan dengan sgenap hatiku.
#OneDayOnePost
#Postinglagi
#Memintamaafmu
Tags:
Cerpen
3 komentar
selamat dtang mbak lisa
ReplyDeletehahahahhaha
ceritanya kembali membaperkan hati
hahahah..iyooo mbak...edisi ga iso turu hbs edit antologi pendidikan
ReplyDeleteMbak... keren masih bisa konsisten ... mas mawan, hampir semua lelaki begitu yah? Lupa ngabarin istri. 😝
ReplyDelete